Home > Budaya

Dampu Awang dan Kutukan Sungai Musi (Bagian 2)

Dampu Awang bukan hanya pelaut. Ia adalah kitayang berlayar, yang tenggelam, dan yang memilih membatu agar tak dilupakan.

Raka frustrasi. Ia kembali ke Mak Siti.

“Mereka bilang cerita ini tak valid. Tidak ilmiah”, kata Raka yang duduk bersila di sebelah Mak Siti.

“Ilmu kadang buta pada rasa. Tapi sungai tak pernah lupa. Kau mau jadi peneliti, atau penjaga ingatan?” tanya Mak Siti menatap tajam ke arah Raka.

Setelah pertemuan dengan Mak Siti, esok malamnya, Raka duduk di tepi Sungai Musi. Air surut. Batu Ampar muncul, seperti gigi naga yang mengintip dari lumpur.

Ia menyentuh salah satu batu. Dingin. Kasar. Tapi terasa hidup. Bersama angin yang bertiup ada suara yang berbisik, “Aku bukan mitos. Aku luka yang tak ditulis. Aku kapal yang memilih membatu daripada tunduk”.

Raka lama terdiam. Ia tahu, tugasnya bukan membuktikan dengan ilmu pengetahuan, tapi membawa cerita ini hidup kembali. Sepekan kemudian, Raka berada di aula kantor kelurahan. Menghadiri rapat publik yang mensosialisasikan rencana pembangunan waterfront modern di sepanjang Sungai Musi. Salah satu titik yang akan diratakan adalah Batu Ampar.

Pejabat Dinas Tata Kota berkata di depan tokoh masyarakat dan warga, “Batu-batu itu mengganggu estetika. Kita akan bangun taman air, kafe terapung, dan dermaga wisata. Kota ini harus maju”, katanya.

Mak Siti hadir pada pertemuan itu, duduk di barisan belakang. Matanya tajam, tapi tubuhnya gemetar.

Mak Siti bergumam lirih, “Mereka ingin menghapus jejak lagi”.

Saat sesi dialog dibuka, Raka berdiri dari duduknya. Ia tak lagi hanya peneliti. Ia kini pembawa suara. “Saya Raka, seorang mahasiswa. Bagi saya, bagi kami di sini, Batu Ampar bukan sekadar batu. Ia adalah kapal yang membatu. Ia adalah cerita yang tak ditulis. Jika kalian ratakan itu, kalian bukan membangun kota, kalian membunuh ingatan”.

Ruangan hening. Beberapa orang tertawa sinis. Tapi sebagian mulai bertanya-tanya.

× Image