Obituari yang Tidak Pernah Ditulis (Bagian 1)

FIKSI AI
Angin malam bulan Agustus merayap dingin menembus jendela kaca kamar kos yang bercahaya remang. Hanya satu-dua lampu meja yang menyala, memecah kegelapan yang pekat, seolah enggan mengusir hantu-hantu deadline dan berita yang tak pernah usai. Aroma kopi dingin dan kertas tua yang menguning menempel di udara, menjadi saksi bisu ribuan kisah yang pernah terukir di sini.
Malam itu, di luar selimut jubah kegelapan mulai bertambah pekat, hanya diterangi oleh kerlap-kerlip bintang yang enggan menembus tirai polusi.
Di salah satu meja, di bawah sorot lampu yang redup, Roni, seorang jurnalis muda dengan rambut sedikit acak-acakan, menatap kertas di atas mesin ketik yang memancarkan cahaya pucat. Jari-jarinya melayang di atas papan mesin ketik, namun tak kunjung menari. Di hadapannya, selembar kertas kosong di hadapannya terasa seperti jurang tak berdasar.
Ia sedang mencoba menulis sebuah obituari, sebuah epitaf untuk seorang wartawan tua yang baru saja mengembuskan napas terakhir. Setiap kata yang ia ketik terasa hampa, seperti lukisan yang kehilangan warnanya. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sebuah kedalaman yang tak bisa dijangkau hanya dengan fakta-fakta kering. Malam ini, ia tidak ingin menjadi sekadar juru tulis, ia ingin menjadi seorang arsitek yang membangun kembali kenangan, sebuah jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa kini.
Ia menghela napas, matanya menerawang jauh, kembali ke masa-masa di mana ia masih seorang wartawan muda yang haus akan kebenaran. Masa-masa di mana ia masih memiliki idola, seorang wartawan tua yang dijuluki “Sang Pelita yang Enggan Padam” oleh rekan-rekannya. Lelaki itu bernama Bramudia.
Roni pertama kali mengenal Bramudi di sebuah kafe remang-remang di kawasan Selatan kota yang berbatasan sungai sebagai batas kota. Laki-laki itu duduk sendirian, dikelilingi oleh asap rokok yang mengepul, matanya yang tajam menatap ke depan, seolah sedang membaca masa depan. Roni dengan keluguannya memberanikan diri mendekat dan menyapa.
“Maaf, Pak Bram, apakah Bapak Bram dari koran Buana Bumi” tanya Roni suara sedikit terbata-bata.
Bramudia menoleh, senyum tipis terukir di bibirnya yang kering. “Ya, itu saya. Panggil saya Bramudia bukan Bram. Ada apa? Siapa nama mu anak muda?”