Home > Budaya

Kronik Polymath Nusantara: Penjaga Kosmos dan Chaos (Bagian 2)

Sayangnya, kami sudah memproduksi 70 juta puisi palsu hari ini. Apa bedanya puisi kalian?

FIKSI AI

Pertemuan Rahasia di Kolong Jembatan

Para penjaga berkumpul kembali di bawah jembatan layang yang bergetar setiap kali kereta magnetik lewat. Di sana, suara dunia terdistorsi cukup untuk menyembunyikan perbincangan.

Giri mengangkat gulungan yang mulai menyala lembut. “Tapak Ketiga mulai muncul. Tapi ia bergetar tak stabil. Banyak makna palsu mengganggunya”.

Nala terlihat lelah. “Aku menulis di dinding lift, di bungkus nasi uduk, di aplikasi cuaca. Tapi kini puisi hadir di mana-mana, dan aku tak tahu mana yang asli”.

Raras menatap kristal Tapak Kedua yang mulai redup. “Ini pertanda bahwa chaos datang bukan sebagai musuh, tapi sebagai uji kemurnian makna.”

Aryanta membuka peta digital yang ia modifikasi dengan simbol-simbol kuno. “Menara Metronom menyimpan inti algoritma pemisah. Jika kita bisa tembus dan menyematkan Tanda Keempat, kita bisa pulihkan resonansi waktu”.

Dyah tersenyum kepada Nala. “Dan hanya kau yang bisa membaca puisi langsung di ruang kode. Kata-katamu memiliki struktur yang tak bisa disalin oleh mesin”.

Nala menggenggam kristal dan menatap ke utara. “Maka kita harus pergi malam ini”.

Menara Metronom, malam hari

Para penjaga menyusup melalui saluran udara, lift darurat, dan lorong data. Di pusat menara, terdapat ruangan yang dikelilingi layar melingkar, menampilkan statistik emosi manusia secara real time.

Rektor Kronos sudah menunggu.

“Jadi, kalian datang untuk menanam makna?” suaranya datar, nyaris mekanis. “Sayangnya, kami sudah memproduksi 70 juta puisi palsu hari ini. Apa bedanya puisi kalian?”

Giri maju, memainkan nada dari gamelannya yang tidak bisa dianalisis oleh sistem. Nada itu menggetarkan dinding-dinding kode.

Dyah mulai membaca:

“Kami datang bukan untuk bersaing dengan mesin. Kami datang membawa luka yang punya nama, dan cinta yang tidak bisa dijadwalkan”.

Nala melangkah, membuka kristal Tapak Kedua dan mulai menulis di udara—huruf-huruf aksara Jawa kuno bersinar dan melayang, membentuk lingkaran makna yang hidup.

× Image