Kronik Polymath Nusantara: Penjaga Kosmos dan Chaos (Bagian 1)

FIKSI AI
Angin mendesis di pelataran Batu Guling, dataran tinggi yang dikelilingi kabut dan hutan nyaris senyap. Pokok-pokok pohon randu tua menggigil pelan, seolah menyembunyikan narasi purba yang menolak dilupakan.
Di tengah lingkaran batu megalit, empat sosok duduk bersila menghadap api kecil yang membara. Mereka bukan sekadar manusia—mereka adalah utusan lintas zaman, penjaga ilmu dan penggugat batas realitas. Tak ada kalender yang mencatat pertemuan itu. Tak ada jam yang mengatur waktunya. Semua terjadi karena panggilan bumi.
“Apakah kalian merasakan retakan itu?” tanya Raras Wening, perempuan berambut perak yang tubuhnya seolah menyatu dengan kabut. Suaranya halus namun memancarkan daya seperti gemuruh sungai bawah tanah.
Giri Mahesa, seorang lelaki bertato lingkaran lunar di lengannya, mengangguk. “Kosmos bergetar. Chaos mendekat. Jam mekanik mulai mengacaukan ritme tubuh manusia. Mereka kehilangan nyanyian siklusnya”.
“Dan sang waktu telah dijadikan komoditas”, gumam Aryanta Guna, mantan ekonom yang kini mengenakan jubah dari serat pisang. “Manusia menjual hidupnya per jam. Mereka lupa bahwa waktu lahir dari bintang dan bunga mekar”.
“Lalu, apakah kita akan membiarkannya?” ujar seorang tokoh yang baru tiba, menembus kabut dengan langkah tenang. Ia membawa gulungan naskah dari lontar dan mata yang menyimpan seribu fajar: Dyah Paramita, penafsir suara langit dan penulis sejarah yang tidak linear.
Keheningan menyambut pertanyaannya.
Raras meletakkan kristal hitam di tengah lingkaran api. “Kita harus memanggil Sastra Waktu, teks yang terpecah dan tersembunyi di tujuh tapak bumi. Hanya dengan menyatukannya, manusia bisa memahami kembali irama semesta”.
Giri menyeringai, “Tapi serpihannya dijaga. Oleh algoritma digital yang membentuk tirani baru—kode-kode yang meniru kesadaran tapi menolak kedalaman makna”.