Home > Budaya

Cahaya yang Tertinggal di Santorini

Tebing kaldera yang perkasa memeluk lautan, sementara desa-desa putih dengan kubah biru menempel di puncaknya seperti busa ombak yang membeku oleh waktu.
(Foto Maspril Aries/ Ilustrasi AI ChatGPT)
(Foto Maspril Aries/ Ilustrasi AI ChatGPT)

CERPEN:

Burung besi itu baru saja mendarat di Bandara Internasional Istanbul. Berarti harus transit sejenak di bandara megah ini gara-gara tidak ada penerbangan langsung Jakarta – Athena. Di Jakarta, ada janji yang pernah terucap di bawah langit kelabu, sebuah bisikan tentang pulau di mana biru laut bertemu biru langit dalam ciuman abadi.

Janji itu kini menjelma nyata saat debu keemasan Bandara Internasional Eleftherios Venizelos di Athena menyambut Sarah, Rifan, dan Dinar. Mentari Yunani memeluk mereka dengan kehangatan seorang sahabat lama, mencairkan sisa-sisa penat dari perjalanan ribuan mil yang memisahkan mimpi dan kenyataan.

Sarah yang jemarinya menari di atas layar ponselnya, tersenyum. Senyumnya adalah fajar pertama dari petualangan mereka. “Penerbangan kita ke surga selanjutnya sudah menunggu”, katanya, matanya berbinar menatap kedua sahabatnya.

Dinar, yang selalu membawa energi laksana badai musim panas, menyandarkan ransel besarnya. "Sebentar lagi, kita akan mencuri api dari para dewa, Rif. Matahari terbenam di Oia, katanya, adalah pertunjukan magis yang bisa mengubah cara pandangmu pada dunia," ujarnya sambil mengedipkan mata ke arah Rifan.

Rifan, yang biasanya membungkus perasaannya dalam selubung ketenangan, menghela napas panjang. Bukan napas lelah, melainkan napas lega, seolah beban seluruh kota yang bising baru saja terlepas dari pundaknya. “Kalian adalah kompas dan jangkarku. Tanpa kalian, aku mungkin masih tersesat di peta angan-angan. Ya sebentar lagi kita ada di sana”, ujarnya sambil tertawa.

Plong semua rasa di dada. Tawa mereka bertiga terlepas, menjadi melodi pertama dalam simfoni perjalanan ini.

Penerbangan singkat menuju Santorini terasa seperti transisi antara dua dunia. Dari jendela pesawat, pulau itu terhampar bukan sebagai daratan, melainkan sebagai serpihan mitologi yang jatuh dari langit. Kastil-kastil kapur yang memahkotai tebing-tebing curam, berdiri anggun di atas permadani safir Laut Aegea.

× Image