Bahasa Jurnalistik Cermin Kualitas Demokrasi (Demonstrasi Anarki atau Anarkis)

KINGDOMSRIWIJAYA – Ruang komunikasi media massa (media cetak, media online, radio dan televisi) dan media sosial atau medsos dengan berbagai platform-nya (X atau Twitter, TikTok, Instagram, Facebook, WhatsApp dan lainnya) sejak akhir Agustus sampai awal September 2025 ramai, digelentor dengan berita dan informasi tentang demonstrasi yang terjadi pada banyak kota di Indonesia.
Media massa dan media sosial ramai-ramai menulis kata atau diksi “anarki” dan “anarkis” selain kata “demonstrasi”. Judul berita media massa selalu dipenuhi dengan kata “anarki” dan “anarkis”. Namun yang kerap digunakan adalah kata “anarkis”. Demikian pula dengan ucapan para pejabat di Indonesia dari daerah sampai pusat, dari mulutnya saat memberi komentar tentang demonstrasi adalah kata “anarkis”.
Mengapa media massa dan para pejabat tersebut menulis dan mengeluarkan kata “anarkis” bukan “anarki”? Ada sedikit media massa dan para yang menggunakan diksi “anarki”.
Sejak 25 Agustus 2025, gelombang demonstrasi massal melanda berbagai kota besar di Indonesia. Demonstrasi yang awalnya berjalan damai dan terorganisir dengan baik, lambat laun berubah menjadi konflik horizontal antara massa aksi, aparat keamanan, dan bahkan warga sipil. Dalam konteks ini, media massa—baik cetak, online dan media elektronik—memainkan peran sentral dalam membentuk opini publik melalui pilihan kata, framing, dan narasi yang mereka gunakan.
Salah satu kata yang paling sering muncul dalam pemberitaan adalah “anarkis” dan “anarki”. Judul-judul berita yang bermunculan seperti, “Boleh Demonstrasi Asal Jangan Anarkis”, “Massa Anarkis Rusak Fasilitas Umum” atau “Polisi Tangkap 50 Anarkis di Jakarta Pusat”. Judul-judul tersebut bisa dicari di dunia maya melalui mesin pencari.