Masa Orba Jilbab Dilarang, Masa Reformasi Paskibraka Harus Lepas Jilbab

Pelarangan Jilbab
Mengutip penelitian Leni Nuraeni dan Setia Gumilar dalam penelitiannya “Pelarangan dan Perjuangan: Pemakaian Jilbab Bagi Kalangan Pelajar pada Masa Orde Baru Tahun 1982-1991” (2021), pada abad ke 20 sebutan kerudung lebih populer dibandingkan dengan jilbab, sebutan jilbab di Indonesia baru terkenal tahun 80-an.
Siapa muslimah pertama yang mengenakan kerudung atau jilbab di Indonesia atau di Nusantara belum diketahui, tapi yang pasti jilbab telah dipakai oleh tokoh perempuan terkenal pada masa lalu, seperti Rahma El-Yunusiyyah, HR Rasuna Said, Siti Walidah, Opu Daeng Risaju dan sebagainya.
Pada masa itu wanita muslim yang memakai jilbab hanya sebagian, kebanyakan wanita memakai kerudung yang dipadupadankan dengan kebaya. Untuk memakai kebaya biasanya perempuan dulu memakai selendang transparan sebagai penutup rambutnya yang ditusuk dengan konde.
Kerudung mulai dikenal pada abad 20, pada tahun 1920-an pemakaian kerudung sudah dilakukan Rasuna Said dan Rahmah El Yunusiyyah yang mengenakan baju kurung dan mudawarah di Padang Panjang. Mudawarah adalah penutup kepala khas Minangkabau, berupa kain panjang yang dililitkan sedemikian rupa di kepala sebagai penutup yang dikenal dengan istilah lilik.
Seiring berkembangnya zaman, menurut Ela Nurlatifah dalam “Jilbab dan Islam Indonesia masa Orde Baru 1981 – 1991” (2019) jilbab menjadi polemik mengikuti keadaan umat Islam pada setiap masanya. Pada masa Orde Baru jilbab bukanlah bagian pakaian muslimah yang yang familiar, jilbab hanya dipandang secara sempit sebagai pakaian ibadah perempuan.
Halaman 2 / 5

Pelarangan Jilbab
Mengutip penelitian Leni Nuraeni dan Setia Gumilar dalam penelitiannya “Pelarangan dan Perjuangan: Pemakaian Jilbab Bagi Kalangan Pelajar pada Masa Orde Baru Tahun 1982-1991” (2021), pada abad ke 20 sebutan kerudung lebih populer dibandingkan dengan jilbab, sebutan jilbab di Indonesia baru terkenal tahun 80-an.
Siapa muslimah pertama yang mengenakan kerudung atau jilbab di Indonesia atau di Nusantara belum diketahui, tapi yang pasti jilbab telah dipakai oleh tokoh perempuan terkenal pada masa lalu, seperti Rahma El-Yunusiyyah, HR Rasuna Said, Siti Walidah, Opu Daeng Risaju dan sebagainya.
Pada masa itu wanita muslim yang memakai jilbab hanya sebagian, kebanyakan wanita memakai kerudung yang dipadupadankan dengan kebaya. Untuk memakai kebaya biasanya perempuan dulu memakai selendang transparan sebagai penutup rambutnya yang ditusuk dengan konde.
Kerudung mulai dikenal pada abad 20, pada tahun 1920-an pemakaian kerudung sudah dilakukan Rasuna Said dan Rahmah El Yunusiyyah yang mengenakan baju kurung dan mudawarah di Padang Panjang. Mudawarah adalah penutup kepala khas Minangkabau, berupa kain panjang yang dililitkan sedemikian rupa di kepala sebagai penutup yang dikenal dengan istilah lilik.
Seiring berkembangnya zaman, menurut Ela Nurlatifah dalam “Jilbab dan Islam Indonesia masa Orde Baru 1981 – 1991” (2019) jilbab menjadi polemik mengikuti keadaan umat Islam pada setiap masanya. Pada masa Orde Baru jilbab bukanlah bagian pakaian muslimah yang yang familiar, jilbab hanya dipandang secara sempit sebagai pakaian ibadah perempuan.
Halaman 3 / 5

Pemerintah Orde Baru melarang pemakain jilbab ke sekolah khususnya sekolah-sekolah negeri karena dianggap sebagai bentuk aktivisme Islam dan primordialisma agama. Pada masa itu memang hubungan antara pemerintah Orde Baru dengan Islam memang sedang tidak baik-baik saja.
Akibat dari tekanan Orde Baru terhadap perempuan pemakai jilbab, di daerah muncul berbagai kasus. Seperti di SMA Negeri I Jember, seorang siswi bernama Tri Wulandari yang memakai jilbab ke sekolah hendak dipecat dari sekolah karena dianggap melanggar tata tertib yang berlaku yaitu SK No.052 tersebut. Bahkan ia mendapat panggilan dari Kodim setempat.
Kemudian di Ujung Pandang (sekarang Makassar) seorang siswi bernama Siti Chatidja di SMAN I tidak diperbolehkan mengikuti ujian sebelum ia melepas kerudungnya dengan alasan instruksi dari Kantor Wilayah P dan K.
Di Jakarta kasus jilbab terjadi di SMAN 68 pada 1983, siswi bernama Ratu Nasiratun Nisa tidak diperbolehkan masuk sekolah karena tidak memakai seragam sekolah yang diatur dalam SK No.052. Di Bandung, kasus serupa dialami delapan siswi SMAN 3 Bandung. Delapan siswa yang berkerudung disuruh memakai celana pendek (hotpant) oleh gurunya Wargono, mereka menolak aturan tersebut.
Tahun 1988 di Bogor, tujuh siswi yang mengenakan jilbab, yaitu Nurfarhanah, Nursari Rinekawati, Hefti Mulyati, Ranti Aryanie, Nunung Pujiastuti, Ida Nuraida dan Tika Riyanti, dicoret dari daftar absensi sebagai murid yang tidak hadir oleh kepala Sekolah SMAN I Bogor, Ngatijo. Mereka tidak dikeluarkan dari sekolah, kehadiran mereka tidak dinilai oleh para guru walau mengikuti semua kegiatan sekolah.
Kasus ini lalu bergulir ke ranah hukum lewat Pusat Pengabdian Hukum Universitas Ibnu Khaldun para siswa melayangkan gugatan kepada sekolah. Setelah dilakukan pertemuan dengan melibatkan Wali Kota, Majelis Ulama Indonesia, Kanwil P dan K Jabar, Kepala Sekolah Ngatijo meminta maaf dan para siswi diperbolehkan kembali sekolah dengan mengenakan jilbab.
Halaman 4 / 5

Meskipun demikian, jilbab pada masa Orde Baru menyebar pemakaiannya tidak hanya di kalangan perempuan muslim dewasa tapi juga menyebar di kalangan perempuan siswa sekolah dari SMP dan SMA. Semakin dikenal luasnya jilbab dan semakin banyaknya perempuan muslim memakai jilbab tidak terlepas peran dari aktivis di lingkungan Masjid Salman ITB dan PII (Pelajar Islam Indonesia).
Penelitian Yulia Hafizah berjudul “Fenomena Jilbab dalam Masyarakat Kosmopolitan: Interpretasi Teks dan Konteks Atas Ayat Jilbab” (2018) menyebutkan fenomena pemakaian jilbab yang semakin marak di Indonesia dipotret penyair Taufiq Ismail dengan puisi berjudul “Aisyah Adinda Kita” yang kemudian menjadi lagu sangat populer dinyanyikan dengan sangat syahdu oleh kelompok musik Bimbo pada tahun 80-an tersebut.
Maraknya pemakaian jilbab pada tahun 80-an tersebut mendapat tentangan dari penguasa Orde Baru khususnya pada kurun 1982 – 1991. Pemakaian jilbab pada masa itu mendapat tekanan, pelarangan dan kekerasan. Tahun 1982 tepatnya tanggal 17 Maret 1982 Pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) yang dipimpin Menteri Daoed Joesoef mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 052/C/Kep/D/82, yang mengatur bentuk dan penggunaan seragam sekolah di sekolah-sekolah negeri. Terbitnya SK tersebut sebagai bentuk kebijakan untuk menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan diantara murid.
Sebelum keluarnya SK tersebut, peraturan seragam sekolah ditetapkan oleh masing-masing sekolah negeri secara terpisah. Dengan adanya SK tersebut, maka peraturan seragam sekolah menjadi bersifat nasional dan diatur langsung oleh Departemen P dan K.
Mengutip Alwi Alatas dalam ”Penelitian Kasus Jilbab di Sekolah Negri di Indonesia Tahun 1982- 1991” SK tersebut secara literal tidak melarang jilbab, namun hampir tidak memberikan kemungkinan untuk menggunakan seragam sekolah dalam bentuk lain, termasuk kemungkinan mengenakan jilbab.
Jika sebelum keluarnya SK sudah mulai bermunculan kasus-kasus pelarangan jilbab, maka setelah keluarnya SK semakin banyak siswi berjilbab yang memperoleh teguran, pelarangan, dan tekanan dari pihak sekolah.
Terbitnya SK No.052 tidak terlepas pemerintahan Orde Baru dalam melihat aktivisme umat Islam sebagai ancaman bagi kestabilan politik dari pada sebagai mitra. Ini tidak terlepas dari konsep Trilogi Pembangunan yang diusung Orde Baru, yaitu pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional.
Halaman 5 / 5

Lalu banyak kasus lainnya yang menimpa pada pelajar putri yang ke sekolah memakai jilbab. Akhirnya Kementerian P dan K pada tahun 1991 menerbitkan SK No.100/C/Kep/D.1991 yang mengizinkan pemakaian jilba di sekolah-sekolah negeri.
Terbitnya SK No.100 menurut Ela Nurlatifah merupakan kemenangan bagi siswi-siswi yang memakai jilbab ke sekolah, karena usailah sudah diskriminasi dari pihak sekolah terhadap siswi sekolah negeri yang mengenakan jilbab yang diyakini sebagai bentuk ketaatan mereka terhadap agama Islam yang mereka anut.
Diskriminasi
Jadi jika pemakaian jilbab dilarang masa Orde Baru, kemudian pada masa reformasi masih dilarang, itu sama saja dengan mengirimkan kembali otak kita sebagai bangsa ke masa lalu. Pada era milenial, jilbab telah menjadi identitas bagi kaum Muslimah di Indonesia dan ada juga menjadikan jilbab sebagai way of life. Perempuan dalam Islam diwajibkan menutup aurat dari ujung kepala sampai ujung kaki kecuali wajah dan telapak kaki. Pemakaian jilbab salah satu usaha perempuan untuk menutup aurat bagian kepala.
Jika terjadi pelarangan menggunakan jilbab bagi perempuan muslim dalam segala aktivitasnya, maka itu adalah salah satu bentuk diskriminasi kepada perempuan.
Mengutip penelitian Muhammad Ihsanul Arief dan Gt. Muhammad Irhamna Husin berjudul “Agama dan Sistem Pendidikan Nasional (Kasus Pelarangan Jilbab Di Sekolah)” (2019), jilbab bagi seorang muslimah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari dirinya. Memakai jilbab bisa menjadi identitas bagi seorang perempuan muslim. Selain itu bisa pula merupakan bentuk prinsip atas pengamalan ajaran agama yang diyakini. Islam memiliki aturan bahwa setiap perempuan yang sudah balig untuk menutup aurat, tidak terkecuali kepala.
Seorang perempuan yang telah memantapkan hati untuk memakai jilbab, tentu akan mempertahankannya bila ada pihak lain yang mengusik. “Jika pemakaian jilbab tersandung dengan sistem yang mengharuskan untuk melepaskannya, maka akan menimbulkan polemik yang serius”. Polemik yang terjadi pada pelepasan jilbab pada 18 anggota Paskibraka putri nasional di IKN itulah buktinya. (maspril aries)